Untuk meletakkan dasar perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak didik, guru perlu harus memahami kemampuan-kemampuan apa yang mesti dikuasai anak didik, perkembangan tahap awal masa kanak-kanak yang harus diselesaikan. Tugas perkembangan merupakan tugas-tugas secara umum yang harus dikuasai anak pada usia tertentu agar dapat hidup bahagia dan mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan berikutnya. Tugas tugas perkembangan masa kanak-kanak yang harus dijalani adalah sebagai berikut:

1) berkembang menjadi pribadi yang mandiri, 2) belajar memberi, berbagi dan memperoleh kasih sayang, 3) belajar bergaul dengan anak lain, Mengembangkan pengendalian diri Belajar bermacam-macam peran orang dalam masyarakat, 4) belajar untuk mengenal tubuh masing-masing, Belajar menguasai keterampilan motork halus dan kasar, 5) belajar mengenal lingkungan fisik dan mengendalikan, 6) belajar menguasai kata-kata baru untuk memahami orang anak atau orang lain, 7) mengembangkan perasaan positif dalam berhubungan dengan lingkungan.
[1]



Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa, penguasaan guru sebagai tenaga pendidik harus mempunyai wawasan tentang tugas perkembangan anak didiknya.

Anak usia dini mempunyai karakteristik perkembangan yang cukup unik dan pesat. Perkembangan yang dialami anak sangat dipengaruhi bagaimana pertumbuhannya. Bila anak mempunyai pertumbuhan baik, secara umum perkembangannyapun akan berjalan dengan baik.

Dalam teori kematangan, Arnod Gesell yang dikutip oleh Uyu Wahyudin menyebutkan bahwa pola tingkah laku dan perkembangan seorang anak bisa secara otomatis sejalan dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan motoriknya. Menurutnya anak berkembang sesuai dengan dengan waktu jadwal alaminya.[2] Dalam konteks ini, ada beberapa karakteristik perkembangan anak usia dini yang wajib dipahami oleh setiap orang tua maupun pendidik. Berikut karakteristik-karakteristik perkembangan anak usia dini yang dimaksud.

a) Perkembangan Fisik-Motorik

Setiap terjadi perkembangan fisik pada anak, secara otomatis pula akan terjadi perkembangan motoriknya baik itu motorik kasar maupun halus. Menurut Elizabeth sebagaimana yang dikutip oleh Uyu Wahyudin, perkembangan fisik sangat penting untuk dipelajari karena, baik secara langsung maupun secara tidak langsung akan mempengaruhi prilaku anak sehari-hari.[3] Menurut Beaty yang dijabarkan oleh Sabil,

Kemampuan motorik kasar seorang anak paling tidak dapat dilihat melalui empak aspek, yaitu (1) berjalan atau walking, dengan indikator berjalan turun-naik tangga dengan menggunakan dua kaki, (2) berlari atau running, dengan indikator menunjukkan kekuatan dan kecepatan berlari, berbelok ke kanan-kiri tanpa kesulitan, dan mampu berhenti dngan mudah;(3) melompat atau jumping, dengan indikator mampu melompat ke depan, ke belakang, dan ke samping; (4) memanjat atau climbing, dengan indikator memanjat naik-turun tangga dan memanjat pepohonan.[4]



Perkembangan fisik-motorik sangat berperan penting bagi seorang anak. Selain melatih kelincahan dan kecekatan, juga dapat memberikan motivasi kepada anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Bahkan, bila difungsikan dengan baik perkembangan fisik-motorik ini mampu meningkatkan kecerdasan seorang anak. Untuk itu, perkembanagan ini tidak boleh di kesampingkan. Sebisa mungkin orang tua atau pendidik merespon dan memberikan waktu atau kesempatan pada sang anak dalam melakukan berbagai gerakan yang dapat membantu dalam memgembangkan fisik-motoriknya. Peran orang tua dan pendidik dapat ditunjukkan melalui pemberian motivasi, bimbingan, latihan-latihan gerak sederhana, dan lain sebagainya.



b) Perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang terkait dengan kemampuan berfikir seseoang. Bisa juga di artikan sebagai perkembangan intelektual. Terjadinya proses perkembangan ini dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya dengan baik. Misalnya, kemampuan untuk menolak dan sesuatu.[5] Pendapat lain menyebutkan bahwa kongnisi merupakan bagian intelek yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, pengkhayalan, pengambilan, keputusan, dan penalaran.

Dengan kemampuan kognisi inilah individu mampu memberikan respons terhadap kejadian yang terjadi secarara internal dan eksternal.[6]

Tokoh yang mencetuskan kognitif ialah Jean Piget. Dalam teori ini, Piaget mengungkapkan bahwa asimilasi merupakan proses ketika stimulus baru dari lingkungan diintregasikan pada pengetahuan yang telah ada pada diri anak. Proses ini dapat diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru ditafsirkan sehubungan dengan gagasan atau teori yang di peroleh anak.[7]

Beberapa uraian di atas memberikan suatu penjelasan dan pemahaman bahwa kemampuan kognisi seorang anak berkembang melalui proses rangsangan yang di perolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, rangsangan-rangsangan tersebut di terima dengan di tafsirkan melalui data pikirnya yang kemudian di wujudkan dengan perbuatan.

Berikut ini tahapan-tahapan perkembangan kognitif seorang anak menurut Jean Piaget, sebagaimana yang dikutip oleh Sabil Risaldi.

a) Masa sensori motorik (0-2,5 tahun). Pada masa ini seorang anak (bayi) mulai menggunakan sistem pengindraan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya, seperti reflex mencari putting susu ibu, menangis, dan lain-lain.

b) Masa praoprasional (2-7 tahun). Pada masa ini seorang anak sudah memiliki kemampuan menggunakan symbol yang mewakili suatu konsep. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat dokter sedang praktik, ia bermain dokter-dokteran.

c) Masa konkreto prasional (7-11 tahun). Pada masa ini anak sudah dapat melakukan berbagai tugas yang konkret. Ia mulai mengembangkan tiga macam operasi berfikir, yaitu identifikasi (mengenali sesuatu), negasi (mengingat sesuatu), dan reprokasi (mencari hubungan timbal balik antara beberapa hal).

d) Masa operasional (11-dewasa). Pada masa ini seorang anak sudah dapat berfikir abstrak dan hipotesis seperti menyimpulkan suatu hal. [8]



Dari beberapa tahapan perkembangan anak tersebut, yang termasuk kategori perkembangan anak usia dini adalah masa sensori motorik dan pra operasional. Pada masa itulah seorang anak akan merespons segala yang kita berikan kepadanya, tanpa ia mengerti apakah itu hal baik atau buruk. Semua yang ia dengar dan lihat akan diserap dalam pikirannya karena anak memang belum memiliki filter yang menyaring segala sesuatu yang masuk pada dirinya. Para ahli juga berpendapat bahwa:

Anak mengembangkan kemampuan kognitifnya melalui kegiatan bermain dengan tiga cara, di antaranya (1) memanipulasi (meniru) apa yang terjadi dan dilakukan oleh orang dewasa atau obyek yang ada di sekitar anak; (2) masteri, yaitu menguasai suatu aktifitas dengan mengulangi suatu kegiatan yang tentunya menjadi kesenangan dan memberikan bermaknaan pada diri anak; (3) meaning, yaitu memberikan bermaknaan pada diri anak sehingga menumbuhkan motifikasi anak dalam melakukannya.[9]

Memahami paparan diatas, mengembangkan kemampuan kognitif dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan diantaranya meniru, menguasai, dan member makna pada suatu kegiatan dengan bibingan dan pengawasan dari guru agar pengembangan tersebut berkembang dan terarah sesuai dengan perkembangan yang sehausnya.

c. Perkembangan Emosi

Emosi adalah suatu perasaan yang dimiliki oleh seorang anak, baik itu perasan senang maupun sedih. Emosi ini mulai berkembang semenjak ia lahir kedunia. Meskipun ada anggapan bahwa sejak dalam kandungan seseorang sudah dapat merasakan sesuatu.

Perkembangan emosi pada diri seorang anak akan muncul manakala ia mengalami interaksi dengan lingkungan. Pada anak usia dini, ungkapan perasaan ini ditunjukkan melalui berbagai respons yang dapat dilakukannya. Sebagai contoh, seorang anak yang meminta suatu permainan, tetapi tidak segera dipenuhi, perasaan anak akan sedih dan marah yang kemudian ditunjukkan dengan raut wajah yang memerah atau menangis dengan sekuat tenaga. Namun apabila permintaaannya segera dipenuhi, ia akan merasa gembira dan ditunjukkan dengan senyuman yang manis dan wajah berseri-seri.

Untuk mengetahui karakteristik emosi seorang anak, perhatikan tabel berikut ini:[10]

Tabel.1

Perbedaan Karakteristik Emosi


Emosi yang stabil (sehat)

Emosi yang tidak stabil (tidak sehat)


1. Menunjukkan wajah yang ceria

2. Mau bergaul dengan teman secara baik

3. Bergairah dalam belajar

4. Dapat berkonsentrasi dalam belajar

5. Bersikap respek atau menghargai terhadap diri sendiri dan orang lain



1. Menunjukkan wajah yang murung

2. Mudah tersinggung

3. Tidak mau bergaul dengan orang lain

4. Suka marah-marah

5. Suka mengganggu teman

6. Tidak percaya diri




Perasaan senang bergairah dan bersemangat dan rasa ingin tahu yang tinggi yang disebut dengan emosi positif. Sementara perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah disebut emosi negatif.[11] Perasaan seorang anak dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu perasaan yang menyangkut urusan biologi atau jasmaniah dan perasaan yang menyangkut urusan ruhaniah.[12]

Dalam kontek diatas, seorang pendidik atau orang tua, harus dapat menciptakan bagaimana memunculkan emosi positif pada diri anak-anaknya, sehingga anak dapat belajar dan berinteraksi dengan lingkungan yang baik.

d. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan hal yang penting bagi anak, bahasa merupakan suatu bentuk menyampaikan apa yang dinginkan terhadap segala sesuatu yang inginkan. Dengan bahasa orang tua atau pendidikan akan tahu yang menjadi keinginan anak, bahasa ialah bahasa yang ditujnjukan melalui ekspresi wajah anak, semakin besar usia anak akan terlihat bahasa yang dikeluarkan dari lisannya mulai perkata sampai pada kalimat yang kompleks.

Bahasa merupakan semua cara berkomunikasi dengan orang lain, semua cara untuk berkomunikasi, yang mana pikirannya dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat atau gerak dengan menggunakan kata-kata, simbol, lambang atau gambar atau lukisan. Bahasa juga diartikan urutan kata-kata, bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai tempat berbeda atau waktu yang berbeda.[13] Bahasa sendiri mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi aspek ekspresi yang menyatakan kehendak dan pengalaman jiwa, fungsi aspek sosial yaitu untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain dan dan aspek intensional yaitu, fungsi aspek untuk menunjukan atau membanggakan sesuatu.[14] Perkembangan bahasa terbagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut:

1. Prastadium (umur 0;6-1;0) meraba atau keluar suara yang belum berarti, serta tunggal terutama huruf-huruf bibir.

2. Masa pertama (umur 1;0-1;6) penguasaan kata yang belum lengkap seperti mem dan mik.

3. Masa kedua (umur 2;0-2;0) masa mama, yaitu masa ketika anak sudah mulai berbicara dan tanya mama.

4. Masa ketika, (umur 2;0-2;6) masa stadium fleksi (menafsirkan) yaitu anak mulai dapat menggunakan kata-kata yang dapat ditafsirkan atau kata-kata yang sudah diubah dan sudah menyusun kalimat pendek.

5. Masa keempat (umur 2;6 keatas) masa stadium anak kalimat yaitu, anak sudah dapat merangkaikan pokok kalimat dengan penjelasan berupa anak kalimat.[15]



Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahasa sangatlah penting bagi pekembangan anak. Tugas orang tua dan pendidik untuk mengasah kemampuan anak agar memiliki kemampuan bahasa yang baik saat sang anak dewasa kelak.

e. Perkembangan Moral

Moral merupakan suatu nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Perkembangan moral pada anak masih terbatas, anak usia dini belum mampu menguasai nilai-nilai abstrak benar– salah dan baik-buruk namun penanaman moral harus dikenalkan sejak dini agar anak terbiasa dan biasa membedakan mana yang benar dan salah. Terdapat pembagian perkembangan moral anak sebagai berikut:

1) Tahap prakonvesional untuk usia 2-8 tahun, penalaran moral anak dikendalikan oleh imbalan atau hadiah dan hukuman eksternal.

2) Tahap konvesional untuk usia 9-13 tahun, anak mentaati standar-standar tertentu. Tetapi mereka tidak mentaati standar yang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat. Anak menghargai kebenaran, kepedulian dan kesetian kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral.

3) Tahap pascaconvesional untuk anak diatas usia 13, yaitu anak mengenal tindakan-tindakan moral alternatif dan menjajaki pilihan-pilihan kemudian memutuskan suatu kode moral pribadi.[16]



Selain tahapan-tahapan perkembangan moral diatas, terdapat juga perkembangan moral yang didasarkan dengan tata nilai yang ada yaitu:

(a) Usia 1;0- 4;0 tahun, pada tahap ini ukuran baik buruk tergantung apa yang dikatakan orang tua. Walaupun anak saat belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk sebab saat ini anak belum bisa menguasai diri sendiri.

(b) Usia 4;0- 8;0 tahun, pada tahap ini ukuran nilai bagi seorang anak adalah apa yang lahir dari realitas, anak belum bisa menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan antara perbuatan yang disengaja atau tidak. Seseorang menilai sesuai dengan kenyataan.

(c) Usia 13;0-13;0 tahun, anak sudah dapat mengenal ukuran baik buruk secara, meskipun masih terbatas, yaitu anak sudah dapat menghargai pendapat atau alasan dari perbuatan orang lain. Anak mulai dapat menghormati orang lain yang patuh, taat atau sebaliknya.

(d) Usia 13;0-19;0 tahun, seseorang anak sudah mulai sadar betul tentang tata nilai kesusilaan, anak akan patuh atau melanggar berdasarkan kepahaman terhadap konsep nilai yang diterima. Pada tahap ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan diri sendiri. [17]



Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan pada awalnya pengenalan nilai dan pola tindakan masih bersifat paksaan dan anak tidak mengetahui maknanya akan tetapi sejalan dengan perkambangan intelektualnya anak berangsur-ansur mulai mengikuti ketentuan yang berlaku keluargnya dan lingkungan sekitarnya.

f. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan perkembangan yang melibatkan hubungan maupun interaksi anak dengan orang lain. Perkembangan sosial dimulai sejak lahir, hal ini dibuktikan dengan tangisan anak ketika baru dilahirkan untuk mengadakan kontak atau hubungan dengan orang lain. Ketika anak masih berusia kecil, perkembangan sosial anak ditunjukan dengan senyumang gerakan atau ekpresinya. Namun dalam perkembangannya kemudian simbol-simbol atau hubungan-hubungan dengan orang lain itu menjadi nyata dan dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang lebih konkret. Perkembangan sosial anak meliputi tahap sebagai berikut:

1. Usia 0-2 tahun, yaitu anak mulai tersenyum dan memandang orang lain.

2. Usia 0-3 tahun, yaitu anak tersenyum kembali, mengeluarkan berbagai suara sebagai jawaban atau ransangan dari luar

3. Usia 0-4 tahun, yaitu anak menangis menolak sebagai tanda tidak setuju terhadap orang mengadakan hubungan.

4. Usia 0-5 tahun yaitu anak mengikuti dengan gerakan mata atau terhadap gerakan mata atau terhadap gerakan orang yang sedang lalu lang.

5. Usia 0-6 tahun, yaitu anak mengadakan reaksi terhadap orang yang marah atau ramah.

6. Usia 0-7 yaitu anak mulai aktif mengadakan hubungan mencoba mengadakan anak aksi, baik dalam bentuk gerakan atau suara-suara.

7. Usia 0-8 tahun, yaitu anak dapat bermain, sembunyi-sembunyi dan memanggil, seperti mama, papa, adik dan lain-lain.

8. Usia 0-1 tahun yaitu anak mencoba menarik perhatian orang dewasa.

9. 0-1 tahun, yaitu anak mulai mengerti akan isyarat-isyarat yang sederhana, contoh bye-bye dengan melambaikan, atau menunjukan dengan jari satu dan lain-lain.[18]



Perkembangan sosial sangat dibutuhkan bagi anak usia dini, karena kelak ketika ia dewasa ia akan hidup dalam lingkungan masyarakat yang mana satu sama lain saling membutuhkan. Dengan membiasakan anak untuk bersosialisasi akan memudahkan sang anak hidup dan berinteraksi dengan orang lain.[19]

g. Perkembangan Imajinasi (Fantasi)

Fantasi atau imajinasi adalah daya cipta untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-tanggapan yang telah ada lama imajinasi atau fantasi merupakan kreativitas.[20] Pada anak usia dini perkembangan imajinasi atau kreativitas anak masih terbatas atau masih sangat terbatas, sebab anak belum memperoleh pengalaman yang memadai dari lingkungan. Namun demikian seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin dewasa, daya imajinasinya pun semakin meningkat, perkembangan imajinasi atau fantasi kreativitas anak dibedakan menjadi dua:

1. Fantas terpimpin (tuntutan) yaitu timbulnya fantasi disebabkan adanya kesan setelah menggapai hasil ciptakan orang lain atau tuntutan oleh karya orang lain.

2. Fantasi mencipta, yaitu timbulnya fantasi seseorang yang muncul karena kekuatan atau potensi yang ada pada dirinya secara murni tanpa adanya tuntutan dari luar.

Selain penjelasan diatas tentang fantasi atau imajinasi pada perkembangan anak, terdapat juga tahapan lainnya imajinasi dan fantasi pada anak sebagai berikut:

a) Usia 0;0-4;0 tahun, masa cerita struweplter, yaitu anak-anak senang terhadap cerita-cerita anak nakal, rambut panjang, pakaian kumal, kuku panjang dan lain-lain. Pada masa ini anak tidak menghiraukan tentang kondisi lingkungan. Senang mementingkan dirinya sendiri.

b) Usia 0-4;0-8; yaitu masa cerita khayal, apa yang dikhayalkan itu adalah kondisi sebenarnya, jadi masa ini sangat senang pada cerita-cerita khayal atau dongeng, walaupun cerita tersebut diulang-ulang anak tidak merasa bosan, tidak jemu bahkan bila yang bercerita itu ada kesalahan ia langsung menegurnya.

c) Usia 8;0-12;0 tahun, masa cerita realitas, yaitu anak sudah mulai senang terhadap cerita-cerita nyata (pahlawan, sejarah, biologi dan lain-lain, pada masa ini, pengaruh fantasi pada anak sudah mulai berkurang sebab pengamatan sudah mulai tertib. Ia sudah dapat membedakan antara yang khayal dengan realita.[21]



Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan anak berubah sesuai dengan tingkat usia anak. Semakin bertambah usia anak, semakin matang pula perkembangannya.

MARIANTI
----------------------------------------------------------

[1] Moeslichatoen (1999), Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Jakarta: Rineka Cipta, hal 4-5


[2] Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin (2011), Penilaian Perkembangan Anak Usia Dini, Bandung: Reflika Aditama, hal.22





[4] Sabil Risaldy & Meity (2014), Bimbingan Konseling: Implementasi Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Luxima, hal 45





[6] Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik…, hal. 98


[7] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…,hal 45


[8] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…,hal 45


[9] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…, hal 45


[10] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling..., hal 45


[11] Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi (2011) Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rajawali Press, hal 64


[12] Abu Ahmad an Munawar Sholeh, (2005), Psikologi Perkembangan Jakarta:Rineka Cipta hal, 98


[13] Uju Wahyudin dan Mubiar Agustin (2011), Penelitian Perkembangan Anak Usia Dini Bandung : Refika Aditama, hal 36


[14] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005), Psikologi Perkembangan Jakarta: Rineka Putra, hal 95


[15] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 95


[16] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan…, hal 103


[17] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan…, hal 105


[18] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 105


[19] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100


[20] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100


[21] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100